BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini,
pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada dasarnya
pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan
ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan
kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan yang digalakkan
ini diartikan sebagai proses multidimensional yang melibatkan
perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial,
mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan
pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam,
2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi
berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual dan dilakukan
secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis
yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang beragam, jumlah penduduk
yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses pengalokasian pembangunan itu
dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara Indonesia. Dengan kondisi seperti
ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di
daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka
diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisiendan
mandiri tetapi tetap ada pengawasan dari pusat.
Pada era reformasi sekarang ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan
yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, alokasi kewajiban negara
kepada rakyat secara merata, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah
pusat. Hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi ancaman- ancaman
terhadap NKRI, seperti yang pernah munculnya gerakan-gerakan separatisme di
daerah- daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI, antara lain GAM di Aceh
dan RMS di Maluku.
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan
salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan
pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus
menjadi pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat
beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah
lain.
Disisi lain, dorongan yang kuat dari masyarakat setempat (lokal) itu
sendiri untuk melakukan perubahan ke arah pensejahteraan juga merupakan suatu
faktor yang semakin mendesak pemerintah untuk menciptakan satu formula
pemerintahan yang pada akhirnya mendukung pembangunan itu. Dari uraian diatas,
maka lahirlah sistem pemekaran wilayah yang merupakan implikasi dari
desentralisasi dan otonomi daerah yang sampai sekarang masing tetap
dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
1.
Untuk mengetahui latar belakang
terbentuknya orde lama, orde baru, dan era reformasi.
2.
Untuk mengetahui apa yang menjadi
penyebab runtuhnya masa orde lama dan orde baru.
3.
Untuk mengetahui bagaimana
perbedaan demokrasi pada ketiga era tersebut.
4.
Untuk mengetahui apa saja yang
telah dicapai pemerintah pada masa orde baru
5.
Untuk mengetahui bagaimana sistem
pemerintahan diindonesia saat ini dibandingkan pada masa ketiga era tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEMOKRASI DIINDONESIA PADA MASA ORDE LAMA.
1. Pengertian Orde Lama
Sistem
Pemerintahan Indonesia Masa Orde Lama yaitu periode pemerintahan Presiden
Soekarno pada tahun 1945 sampai tahun 1968.
Pada masa
orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensil, parlementer, demokrasi liberal, dan sistem
pemerintahan demokrasi terpimpin.
Orde lama
adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai
dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno.
Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama yaitu sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan[1].
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka
dan berdaulat. Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang
mengaburkan identitas nasional kita adalah, Pemberontakan PKI pada tahun 1948,
Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan
PKI 1965[2]. Pada masa orde lama
banyak sekali terjadi perubahan-perubahan system pemerintahan dan
gejolak-gejolak serta pemberontakan akibat dari system pemerintahan yang tidak
stabil tersebut.
2. Pelaksanaan politik pada masa orde lama
a.
Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan Tahun
1945 – 1950
Terjadi
penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
1)
Berubah fungsi Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
2)
Terjadinya perubahan sistem kabinet
presidensial menjadi kabinet parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan
presidensil presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan
merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem
pemerintahan dari presidensil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem
pemerintahan presidensil, presien memiki fungsi ganda, yaitu sebagai badan
eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif[3].
b.
Masa Demokrasi Liberal Tahun 1950 –
1959
Masa
pemerintahan pada tahun 1950-1959 disebut masa liberal, karena dalam politik
maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Sistem
Pemerintahan yang dianut adalah parlementer kabinet dengan demokrasi liberal[4]. Ciri-ciri demokrasi liberal:
1)
presiden dan wakil presiden tidak
dapat diganggu gugat.
2)
Menteri bertanggung jawab atas
kebijakan pemerintahan.
3)
Presiden berhak membubarkan DPR.
4)
Perdana Menteri diangkat oleh
Presiden.
Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno
memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959.
Dewan Konstituante diserahi tugas membuat
undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959
badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru[5].
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959,
yang membubarkan Konstituante.Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959[6]
:
1)
Pembentukan MPRS dan DPAS
2)
Kembali berlakunya UUD 1945 dan
tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3)
Pembubaran Konstituante
c.
Demokrasi Terpimpin Tahun 1959 –
1968
Di
tengah-tengah krisis tahun 1957 diambilah langkah-langkah pertama menuju suatu
bentuk pemerintahanyang oleh Soekarno dinamakan demokrasi terpimpin. Demokrasi
terpimpin didominasi oleh kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa untuk
pelaksanaannya diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata.
Pada waktu itu beberapa mengamat menganggap Soekarno sebagai seorang diktator
dan ketika sikapnya semakin berapi-api beberapa mengamat cenderung
menganggapnya sebagai sebuah karikatur yang
sudah terlalu lanjut usia. Soekarno adalah seorang ahli manipulator
rakyat dan lambang-lambang. Kekuatan-kekuatan besar lainnya berpaling kepadanya
untuk mendapatkan bimbingan, legitimasi, atau perlindungan. Dengan menampilkan
dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka para pemimpin lainnya bergabung
dengannya dalam mempertahankan posisi sentralnya[7].
Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depannya sendiri, tetapi dia
tidak mempunyai satu pun pandangan (atau setidak-tidaknya satu pun pandangan
yang akhirnya dapat diterima oleh pimpinan lainnya) mengenai masa depan negara
dan bangsanya. Janji dari demokrasi terpimpin tersebut adalah suatu janji
kosong.
Usaha-usaha telah dilakukan oleh
para ilmuwan untuk menggambarkan demokrasi terpimpin sebagai sebuah sistem
pemerintahan, suatu percobaan yang agak mirip dengan melukiskan bentuk amuba.
Kadang-kadang analisa-analisa semacam itu mempunyai ciri
determinasipsiko-kultural, seolah-olah arwah Sultan Agung berbisik di telinga
Soekarno. Dia merupakan suatu pusat legitimasi yang diperlukan oleh para
pemimpin lainnya. Soekarno sendiri hanya memiliki sedikit kekuatan yanag
terorganisasi dan harus memanipulasi, mengancam, dan membujuk orang-orang kuat
kuat lainnya. Elite politik menjadi suatu kompleks kelompok-kelompok yang
mengelilingi orang-orang berpengaruh. Sistem keuangan dan sistem hukum menjadi
semakin sewenang-wenang dan tidak menentu karena hancurnya norma-norma
birokrasi. Pemerintah daerah semakin mengandalkan kepada tenaga kerja tanpa
gaji dari para petani.
Meskipun
mempunyai kesamaan-kesamaan yang menarik dengan masa prakolonial, tetapi
kesemuanya itu hanya sedikit memberi penjelasan apalagi tidak bercorak khas
Indonesia. Mustahil bahwa demokrasi
terpimpin diilhami secara sadar atau pun bawah-sadar oleh prinsip-prinsip asli
negara dari masa prakolonial. Bahwa rakyat pedesaan dapat memahami Soekarno
dari segi model-model wayang semata-mata mencerminkan kehalusan dan kekayaan
bentuk kesenian itu serta kecintaan Soekarno sendiri pada wayang dan
keterampilannya dalam memanipulasikan lambang-lambang. Peranan militer pribadi
raja-raja prakolonial Indonesia tidak kita jumpai dalam demokrasi terpimpinan.
Sebagai ganti satuan-satuan kecil prajurit profesional dan pasukan-pasukan yang
besar yang dihimpun dari kalangan petani, kin terdapat satuan tentara tetap
yang besar dibawah panglima-panglimnya Soekarno diimbangi oleh ketidaktahuannya
di bidang ekonomi yang merupakan bencana besar. Dia menginginkan revolusi yang
bersikinambungan dan mobilisasi massa, dan sini kelihatan dampak dari
pergerakan nasional, penduduk Jepang, dan Revolusi, yaitu pengaruh-pengaruh
yang lebih mendasar daripada apa yang mungkin sedikit diketahui Soekarno
mengenai kerajaan-kerajaan Jawa.[8]
Indonesia
merupakan bagian dari tatanan internasional yang bersifat bersaing dan
dipengaruhi oleh bangsa-bangsa lain dengan cara yang berbeda sama sekali dengan
kerajaan-kerajaan kuno. Rakyat dapat diamati, diberi informasi,
dimobilisasikan, atau dipaksa dengan lebih berhasil daripada di setiap kerajaan
kuno. Jepang bahkan lebih baik daripada Belanda telah menunjukkan bagaimana
kesemuanya itu dapat dilakunkan. Bagaimanapun juga, mereka lebih condong
kembali ke gagasan-gagasan negara-negara yang bersifat menindas seperti Belanda
dan terutama Jepang daripada ke gagasan-gagasan kerajaan-kerajaan Jawa kuno
yang hampir tidak mereka ketahui sama sekali. Penjajahan Belanda dan Jepang
merupakan bentuk-bentuk pemerintahan yang sudah dikenal oleh kalangan elite dan
yang meskipun mempunyai segala kekurangannya, setidak-tidaknya tampak menjadi
lebih efektif daripada sistem multipartai dari tahun 1950-1957.[9]
Pada
bulan April 1957 Soekarno mengumumkan pembentukan suatu Kabinet Karya di bawah
seorang politisi nonpartai, Djuanda Kartawidjaja (1911-1963), sebagai Perdana
Mentri. Salah seorang kepercayaan Soekarno yang paling dekat, Chaerul Saleh
(1916-1967), masuk di Kabinet tersebut sebagai Menteri Urusan Veteran. Menteri
Luar Negeri di jabat oleh Dr. Subandrio (lahir tahun 1914), seorang mantan Duta
Besar untuk London(1947-1954) dan Moskow (1954-1956).[10]
Meskipun
Kabinet ini secara teoritis bersifat nonpartai, namun pada hakekatnya kabinet
tersebut merupakan suatu koalisi antara PNI dan NU. Dua anggota Masyumi menjadi
anggota kabinet tetapi partai tersebut mengeluarkan keduanya karena menerima
kedudukan itu.
Pada
bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri atas empat puluh satu
wakil golongan funksionil (pemuda, kaum tani, kaum buruh kaum wanita, para cendekiawan,
agama-agama, kelompok daerah-daerah, dan lain-lain), ditambah beberapa anggota
ex officio. Kebanyakan partai politik, termasuk PKI, secara tidak langsung
diwakili melalui anggota-anggota golongan fungsional, tetapi tidak demikian
halnya dengan Masyumi dan Prtai Katholik.
Setidak-tidaknya
pada tahun 1957 (dan mungkin sudah pada tahun 1955) seorang anggota rahasia PKI
mulai menyusup ke tubu militer melalui kontak-kontak dengan perwira-perwira
intelijen yang juga berusaha menyusup kedalam tubuh PKI. Orang itu ialah tokoh
misterius yang bernama Sjam (Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah, meninggal tahun
1986). Akan tetapi karir dan kehidupannya sangat tidak jelas seperti halnya
hubungannya dengan Aidit. Dia menjadi seorang tokoh terkemuka didalam organisasi
para seniman dan pengarang PKI, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat didirkan tahun
1950), yang segera akan menjadi alat utama untuk melakukan penindasan
intelektual. Anggota-anggota PKI juga menjadi berpengaruh didalam sistem
sekolah Taman Siswa, dimana mereka didukung oleh persamaan-persamaan yang dekat
antara ideologi Taman Siswa dan ideologi demokrasi terpimpin.
Soekarno
juga mencari cara baru bagi pembentukan organisasi massa. Pada bulan Juni 1957
dia memuji-muji sistem satu-partai dari Uni Soviet dan mengatakan bahwa dia
lebih menyukai stuktur seperti itu. Kabinet, Dewan Nasional, dan pihak tentara
juga berusaha memecahkan masalah-masalah yang telah mengakibatkan terjadinya
krisis pemerintahan.
Pada
bulan Juli 1957 markas besar PKI dan SOBSI di Jakarta diserang dengan
granat-granat tangan. Djuanda menyelenggarakan suatu Musyawarah Nasional di
Jakarta antara tanggal 10 dan 14 September 1957, yang disusul dengan suatu
Musyawarah Nasional Pembangunan dua bulan berikutnya. Pemilihan-pemilihan untuk
memilih anggota dewan-dewan propinsi di selenggarakan pada semester kedua tahun
1957 dan terlihat bahwa PKI memperoleh keuntungan yang besar.
Di
Jawa, perolehan suaranya adalah 37,2 persen lebih tinggi daripada jumlah suara
yang diperoleh pada tahun 1955, yang kebanyakan dukungan baru tersebut berasal
dari pada mantan pemilihan PNI. Perolehan suara empat besar di daerah pemilihan
Jawa Tengah dan Jawa Timur pada bulan Juli adalah PKI 34 persen, NU 29 persen,
PNI 26 persen, dan Masyumi 11 persen. Di Jawa Timur NU masih tetap berada di
urutan pertama, tetapi perollehan suaranya berkurang dan PKI hanya tertinggal 3
persen di belakangnya.
Pada
bulam September dan Oktober 1957 kolonel simbolon dan para pembangkang militer
lainnya di Sumatera, Kolonel Sumual dari gerakan Permesta, dan Kolonel Lubis
mengadakan beberapa pertemuan di Sumatera guna mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan mereka. Sementara itu, Masyumi yang tidak mau tahu tentang
demokrasi terpimpin menyelenggarak Muktamar Ulama se Indonesia di Palembang
pada bulan September yang menyatakan bahwa bahwa komunisme haram bagi kaum
muslim dan bahwa PKI harus dilarang. Pada pertengahan bulan November Majelis
Konstituante melalui dengan sidang-sidangnya di Jakarta dan macet dalam
percekcokan antara pihak yang mendukung islam dan pihak yang mendukung
Pancasila sebagai dasar falsafah bagi suatu undang-undang dasar yang baru.
Pada
akhir bulan November 1957 dua kejadian meningkatkan ketegangan politik.
Sekelompok kaum muslim yang fanatik yang diduga merupakan anak buah Lubis dan para
pembangkang di daerah, melemparkan granat-granat tangan yang meminta korban
beberapa jiwa namun tidak mencederai Soekarno.
Pada
tanggal 3 Desember serikat-serikat buru PKI dan PNI mulai mengambil alih
perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda. Perusahaan pelayaran
milik Belanda, KMP (Koninklijke Paketvaart Maatschspij), merupakan perusahaan
pertama yang disita, tetapi sebagian besar kapalnya Indonesia. Salah satu
sokoguru kekuatan perekonomian Inggris Belanda, Royal Dutch Shell, tidak dinasionalisasikan
namun pada tanggal 5 Desember Kementerian Kehakiman memerintahkan pengusiran
terhadap sekitar 46.000 warga Belanda yang berada di Indonesia.
Pada
tanggal 13 Desember 1957 Nasution mengambil kendali atas keadaan tersebut
dengan memerintahkan agar pihak tentara bersedia mengelola
perusahaan-perusahaan yang telah di sita itu.
Akan tetapi, dampak-dampaknya terhadap perekonomian dan tentara jauh
dari bermanfaat. Perhatian pihak tentara mulai tertuju jauh dari fungsi-fungsi
militer yang murni, sehingga mempercepat
korupsi kalangan korps perwira.
Suatu langkah lagi diambil pada tanggal 10 Desember 1957 ketika Nasution
menempatkan wakilnya yang kedua, Kolonel Dr. Ibnu Sutowo (lahir tahun 1914),
untuk memimpin suatu perusahaan minyak baru yang di beri permina (Perusahaan
Minyak Negara).
Pada
bulan Desember Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya kabur dari Jakarta
karenya adanya intimidasi dari kelompok-kelompok pemuda. Kini PKI memberi
penekanan kepada kekuasaan Belanda yang terus berlanjut atas Irian sebagai
fakta poko dari status semikolonial Indonesia. Pada bulan Januari Nasution
bergerak untuk menempatkan radikalisme ini dibawah kendali pihak tentara dengan
membentuk Front Nasional pembebasan Irian Barat yang didasarkan pada
badan-badan kerja sama tentara sipil.
Pada
bulan Januari 1958 PSI dan Masyumi menuntut dibentuknya suatu kabinet baru guna
menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa. Tentu saja PNI dan NU
mempertahankan kabinet yang ada. Ketika Soekarno berada di luar negeri (6 Januari-16
Februari), diselenggarakan suatu pertemuan didekat Padang antara Simbolon,
Lubis, para perwira lainnya di Sumatera, pemimpin-pemimpin Masyumi Natsir dan
Sjafruddin, dan Sumitro Djojohadikusumo dari PSI (salah satu diantara
segelintir suku Jawa yang bergabung dengan kaum pembangkang). Tokoh-tokh
Sumatera merasa semakin yakin bahwa kejadian-kejadian di Jakarta sedang
mengarah ke sifat Radikal yang tidak tertahan lagi dan harus ditentang.
Pada
tanggal 10 Februari 1958 kaum pembangkang Padang mengirim suatu ultimantum lima
hari kepada pemerintah, kabinet harus dibubarkan, Hatta dan Sultan
Hamengkubuwana IX harus ditunjuk untuk membentuk suatu kabinet karya baru
sampai terselenggaranyapemilihan umum, dan Soekarno harus kembali posisi
konstitusionalnya yaitu presiden sebagi lambang saja (suatu posisi yang telah
dituntut oleh Natsir selama masa jabatannya sebagai Perdana Menteri).
Pada
tanggal 15 Februari diumumkanlah suatu pemerintahan pemberontak di Sumatera
dengan markas besarnya di Bukittinggi. Dua hari kemudian kaum pemberontak
menghadapi kekurangan-kekurangan yang serius. Apalagi pemberontakan ini tidak diperoleh dukungan
yang berati di Sumatera Utara dan Kalimantan. Perusahaan-perusahaan minyak
Caltex, Stanvac, dan Shell mendapat jaminan dari Jakarta bahwa kepentingan
mereka akan dilindungi dan tetap melakukan pembayaran pajak mereka ke Jakarta.[11]
Pada
tanggal 16 Februari Soekarno kembali dan mendesak diterapkannya perlakuan yang
keras terhadap kaum pemberontak. Hatta bersama-sama dengan para pemimpin
Masyumi dan PSI di Jakarta mendesak suatu penyelesaian dengan perundingan,
sehingga menempatkan diri mereka pada posisi kompromis. Masyumi terpecah-belah
kehilangan semangat dan tidak dipercaya lagi.
Pihak
Militer bertindak secara meyakinkan. Angkatan udara mengebom
instalasi-instalasi PRRI di Padang, Bukittinggi, dan Menado pada akhir bulan
Februari 1958. Pihak Amerika memasok persenjataan kepada kaum pemberontak dan
mengusulkan kepada Jakarta didaratkannya pasukan komando Amerika dengan dalih
melindumgi warga negara dan milik Amerika di ladang-ladang minyak Sumatera.
Pemerintah Indonesia menolak usul tersebut dan mulai tanggal 12 Maret telah
mengamankan ladang-ladang Caltex untuk mencegah terjadinya aksi sepihak
Amerika. Pada tanggal 5 Mei Bukittinggi berhasil direbut dan gerakan PRRI di
Sumatera berubah menjadi perang gerilya di wilayah pedalaman. Gorontalo
berhasil direbut pada pertengahan bulan Mei dan Menado pada akhir bulan Juni.
Pada
tanggal 18 Mei seorang pilot sipil Amerika yang mengendalikan pesawat pengebom
B-26 di tembak jatuh diatas Ambon ketika sedang sibuk melakukan pengeboman
sebagai dukungan kepada pihak pemberontak. Amerika Serikat telah menyadari
bahwa dirinya mendukung suatu gerakan yang akan mengalami kegagalan,dan dalam
waktu dua hari Menteri Luar Negeri Amerika, J.F. Dulles, mengecam campur tangan
untuk kepentingan PRRI dalam usaha memperbaiki hubungan dengan Jakarta.
Malaya
yang telah merdeka pada tahun 1957 dan masih memerangi sisa-sisa keadaan
darurat yang ditimbulkan oleh kaum komunis di wilayahnya sendiri, juga telah
membantu kaum pemberontak PRRI dan menjadi saluran utama bagi pemasokan
persenjataan. Pada bulan Agustus 1958 Guomindang (kuomintang) dilarang di
Indonesia dan segera setelah itu tentara mengambil alih perusahaan-perusahaan
Cina yang pro-Taiwan, sehingga secara tidak sadar telah memberi PKI kesempatan
untuk memonopoli dukungan politik di kalangan masyarakat Cina di Indonesia.
Pada
bulan Juli 1958 pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal, sehingga dialah
orang pertama yang mendapat pangkat itu semenjak Soedirman. Pemberontakan itu
telah Menodai Masyumi dengan cap pengkhiantan seperti hal peristiwa Madiun
telah mencemarkan nama PKI. Pemberontakan di daerah kini menjadi semakin sulit
terjadi karena ditempatkannya para perwira dan satuan-satuan dari Divisi
Siliwangi, Divisi Diponegoro, Divisi Brawijaya di daerah-daerah luar Jawa.
Keberhasilan
atas PRRI tidak menjadikan tentara dikuasai oleh masyarakat umum. Diantara
mereka ialah Soekarno yang lawan-lawan dan musuh lama-lamanya di kalangan para
politisi sipil, seperti Hatta dan Natsir, kini tidak berperan lagi. Presiden
tidak begitu menghargai para pemimpin PNI, seperti Ali Sastroamidjojo dan
Hardi, dan semakin menganggap PKI sebagai sekutu utamnya dalam menghadapi pihak
tentara.
Masyumi
dan PSI yang pernah menempatkan diri mereka dalam peranan sebagai
pembela-pembela demokrasi mulai mendesak supaya pemilihan anggota DPR yang
menuntut rencana akan diadakan pada tahun 1959 ditangguhkan karena mereka
beranggapan bahwa PKI-lah yang akan menjadi pemenangnya. Akan tetapi, kaum
elite politik yang ada di Jakarta tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang
langkah berikutnya yang akan diambil.
Pada
bulan Juli 1958 Nasution mengusulkan suatu cara penyelesaian. Dia lebih suka
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 daripada menyusun suatu undang-undang dasar baru. Pertentangan
filosofis akan terpecahkan dengan dicantumkannya Piagam Jakarta dari bulan Juni
1945, yang akan mewajibkan umat Islam menjalankan syariat Islam sementara
membiarkan Pancasila sebagai falsafah bangsa. Usulan ini lambat lau mulai
mendapat dukungan tetapi Soekarno tidak berkeinginan memikul sendiri tanggung
jawab berat yang ditetapkan oleh undang-undang dasar ini bagi presiden. Pada
saat itu telah disepakati bahwa angkatan bersenjata sendiri merupakan golongan
fungsional, sehingga percekcokan-percekcokan dari setiap badan perwakilan baru
harus terdiri golongan semacam itu.
Pada bulan November 1958 dia merumuskan usulan ini
sebagai doktrin jalan tengah, tentara tidak akan disisihkan dari urusan-urusan
politik atau tidak akan mengambil alih pemerintahan. Pada bulan Sepetember 1958
tiba-tiba Nasution melarang Masyumi, PSI, Partai Kristen, dan sebuah organisasi
front tentara (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia didirikan tahun 1954 dan
yang mendukung lawan-lawannya) di semua daerah di mana mereka telah membantu
kaum pemberontak.
Para
pemimpin PNI dan PKI telah menyetujui gagasan untuk memberlakukan kembali
undang-undang dasar 1945 pada awal tahun 1959. Kemudian kabinet memutuskan
untuk mengajukan usulan ini kepada Majelis Konstituante. Ketika pada bulan Mei
Majelis menolak usulan agar Piagam Jakarta dimasukkan sebagai bagian dari
undang-undang dasar yang memiliki kekuatan hukum maka NU berbalik menentang
diberlakukannya undang-undang dasar lama tersebut. Sejak bulan Maret 1957 telah
disepakati suatu gencatan senjata di Aceh, tetapi ditemui kesulitan dalam
pelaksanaannya. Penduduk Aceh diberi otonomi dalam masalah-masalah keagamaan,
hukum adat, dan pendidikan.
Sejarah Indonesia (1959-1968) adalah masa di mana
sistem "Demokrasi Terpimpin" sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi
terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yaitu Presiden Soekarno. Konsep sistem
Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam
pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Berbagai penyimpangan dalam Demokrsi terpimpin :
1)
Pancasila
diidentikkan dengan Nasakom
2)
Produk
hukum yang setingkat dengan undang-undang (UU) ditetapkan dalam bentuk
penetapan presiden (penpres) daripada persetujuan
3)
MPRS
mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup
4)
Presiden
membubarkan DPR hasil pemilu 1955
5)
Presiden
menyatakan perang dengan Malasya
6)
Presiden
menyatakan Indonesia keluar dari PBB
7)
Hak
Budget tidak jalan
Penyimpangan
lain dalam demokrasi terpimpin adalah campur tangan presiden dalam bidang
Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk melakukan intervensi di bidang
yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan
Presiden No.14 tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat mengenai
suatu hal atau sesuatu rancangan Undang-Undang[12].
Selain
itu terjadi penyimpangan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan
pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang memakai
Dekrit 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum. Didirikan pula badan-badan ekstra
kontitusional seperti ‘front nasional’ yang ternyata dipakai oleh pihak komunis
sebagai arena kegiatan, sesuai denga taktik komunisme internasional yang
menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya
demokrasi rakyat[13].
Pada
masa ini terjadi persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI.
Persaingan ini mencapai klimaks dengan meletusnya perisiwa Gerakan 30 September
1965 yang dilakukan oleh PKI.
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan hangat dengan anggapan bahwa
PKI mempunyai hak untuk menyelesaikan persekutuan konsepsi yang sedang marak di
Indonesia kala itu, yaitu antara ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan
komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Nasakom adalah singkatan Nasionalis, Agama dan
Komunis, dan merupakan konsep dasar Pancasila pada masa pemerintahan orde lama.
Konsep ini diperkenalkan oleh Presiden Soekarno yang menekankan adanya
persatuan dari segala macam ideologi Nusantara untuk melawan penjajahan, dan
sebagai pemersatu Bangsa untuk Revolusi rakyat dalam upaya memberantas
kolonialisme Indonesia[14].
Ia melihat bahwa nasionalisme dan
Islam merupakan paham-paham yang kurang tajam untuk menganalisis keadaan,
karena itulah dibutuhkan faham komunisme untuk menyokong dua ideologi tersebut
untuk membangun Indonesia.
Tetapi kedekatan dengan PKI malah
menjadi bumerang tersendiri. Serta merta pihak PKI melakukan pemberontakan
menuju Indonesia komunis. Sehingga bencana nasional berupa G30S PKI 1965
terjadi dan mengakhiri pemerintahan Sukarno yang diktator dengan model ‘terpimpin’nya.
Pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan kekuasaan digantikan oleh Soeharto[15].
3.
Keadaan Ekonomi Indonesia Pada Masa Liberal
Meskipun
Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk.
Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
a. Setelah
pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia
menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB.
Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang
dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
b. Defisit yang
harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
c. Indonesia
hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
d. Politik
keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancan0g
oleh Belanda.
e. Pemerintah
Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistemekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi
nasional.
f. Belum
memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga
ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
g. Situasi
keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
h. Tidak
stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
i. Kabinet
terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
j. Angka
pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
a.
Mengurangi jumlah uang yang beredar
b. Mengatasi
Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah : Pertambahan
penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
Kehidupan
ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi
ekonomi adalah sebagai berikut.
a. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering).
Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya
tinggal setengahnya.Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal
20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950[17].
Tujuannya untuk
menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar. Dampaknya rakyat
kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari
pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta[18].
b. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem
ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengub[19]ah
struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir
yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program
ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi
nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
1) Menumbuhkan
kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
2) Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan
kredit.
3) Para
pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
4) Gagasan
Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng
dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi
tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan
pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena[20]
:
a) Para
pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal.
b) Para
pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
c) Para
pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
d) Para
pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
e) Para
pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah.
f) Para
pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari
kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban
defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa
defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri
keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan
pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para
pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor[21].
c. Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa
nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya
terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada
pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi
dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan
biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis[22].Perubahan
mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951
berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
.
d. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai
oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I).Tujuan dari program ini
adalah:
1) Untuk
memajukan pengusaha pribumi.
2) Agar para
pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
3) Pertumbuhan
dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
4) Memajukan
ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non
pribumi.
Program
ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha
pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia
menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas. Pengusaha
pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5. Persaingan Finansial Ekonomi
(Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap
dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara
pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede
Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana
persetujuan Finek, yang
berisi[23]
:
a. Persetujuan
Finek hasil KMB dibubarkan.
b. Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
c. Hubungan
Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.
d. Hasilnya pemerintah
Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara
sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya:
untuk melepaskan diri dari keterikatan
ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno
menandatangani undang-undang pembatalan KMB[24].
Dampaknya :
Banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum
mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut[25].
6. Rencana Pembangunan Lima
Tahun (RPLT)
Masa kerja
kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya
merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II,
pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini
berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan
dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah[26].
RPLT tidak dapat berjalan
dengan baik disebabkan karena :
Adanya
depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan
awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan
pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara
pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya
masing-masing.
7. Musyawarah Nasional
Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi
ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara
waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan
Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan
tersebut tidak dapat dilaksanakan
dengan baik karena :
a. Adanya
kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
b. Terjadi
ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
c. Timbul
pemberontakan PRRI/Permesta.
d. Membutuhkan
biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan
defisit Indonesia.
e. Memuncaknya
ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai
konfrontasi bersenjata.
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet
diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.Tercatat ada 7 kabinet pada masa
ini.
a. KABINET NATSIR (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Dipimpin Oleh : Muhammad
Natsir. Program :
1) Menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman.
2) Mencapai
konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3) Menyempurnakan
organisasi Angkatan Perang.
4) Mengembangkan
dan memperkuat ekonomi rakyat.
5) Memperjuangkan
penyelesaian masalah Irian Barat[27].
Hasil: Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk
pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/
Masalah yang dihadapi :
1) Upaya
memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
2) Timbul
masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA,
Gerakan RMS.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Adanya mosi
tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD
dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD
terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir
harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden[28].
b.
KABINET
SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Dipimpin Oleh: Sukiman
Wiryosanjoyo. Program:
1) Menjamin
keamanan dan ketentraman
2) Mengusahakan
kemakmuran rakyat dan memperbaharu hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani
3) Mempercepat
persiapan pemilihan umum.
4) Menjalankan
politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam
wilayah RI secepatnya.
Hasil: Tidak
terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman[29].
Kendala/ Masalah yang dihadapi:
1)
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA
terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan
memperhatiakan kepentingan Amerika.Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
2)
Adanya krisis moral yang ditandai
dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan
kegemaran akan barang-barang mewah.
3)
Masalah Irian barat belum juga
teratasi.
4)
Hubungan Sukiman dengan militer
kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi
pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan[30].
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI
atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet
tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus
mengembalikan mandatnya kepada presiden.
c. KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken
kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin oleh : Mr.
Wilopo. Program :
1)
Program dalam negeri:
Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan
kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2)
Program luar negeri : Penyelesaian masalah
hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia,
serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1) Adanya
kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport
Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
2) Terjadi
defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih
setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk
mengimport beras.
3) Munculnya
gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa.
Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat
ke daerah yang tidak seimbang.
4) Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952.
Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga
muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan
membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah
intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution
yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai
penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan
parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto
dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini
menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya
parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan
menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.Muncullah
mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan
perang dan mengecam kebijakan KSAD.Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira
angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet[31].
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian
KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan
memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah
ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di
Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia
terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada
presiden.
d.
KABINET
ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini
merupakan koalisi antara PNI dan NU. Dipimpin
oleh: Mr. Ali Sastroamijoyo. Program:
1)
Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2)
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3)
Pelaksanaan politik bebas-aktif dan
peninjauan kembali persetujuan KMB.
4)
Penyelesaian Pertikaian politik.
Hasil :
1) Persiapan
Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29
September 1955.
2) Menyelenggarakan
Konferensi Asia-Afrika tahun 1955[32].
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
1) Menghadapi
masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII
di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
2) Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu
peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD
yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng
sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh
kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo
tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya
dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun
panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun
menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
3) Keadaan
ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan
gejala membahayakan.
4) Memudarnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
5) Munculnya
konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik
kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai
lainnya.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet yaitu NU menarik
dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah
yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden[33].
e.
KABINET
BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin Oleh: Burhanuddin
Harahap. Program :
1)
Mengembalikan kewibawaan pemerintah,
yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada
pemerintah.
2)
Melaksanakan pemilihan umum menurut
rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
3)
Masalah desentralisasi, inflasi,
pemberantasan korupsi
4)
Perjuangan pengembalian Irian Barat
5)
Politik Kerjasama Asia-Afrika
berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil :
1) Penyelenggaraan
pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan
15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang
mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai
politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2) Perjuangan
Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.
3) Pemberantasan
korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi
militer.
4) Terbinanya
hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
5) Menyelesaikan
masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai
Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Dengan
berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun
jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen
yang baru pula[34].
f.
KABINET
ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini
merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Dipimpin Oleh: Ali
Sastroamijoyo. Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
memuat program jangka panjang, sebagai berikut[35].
1)
Perjuangan pengembalian Irian Barat
2)
Pembentukan daerah-daerah otonomi
dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3)
Mengusahakan perbaikan nasib kaum
buruh dan pegawai.
4)
Menyehatkan perimbangan keuangan
negara.
5)
Mewujudkan perubahan ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu
program pokoknya adalah,
1) Pembatalan
KMB,
2) Pemulihan
keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif,
3) Melaksanakan
keputusan KAA.
Hasil:Mendapat
dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari
periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh
perjanjian KMB.
Kendala/
Masalah yang dihadapi :
1) Berkobarnya
semangat anti Cina di masyarakat.
2) Muncul
pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan
sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera
Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan
Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
3) Memuncaknya
krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan
di daerahnya.
4) Pembatalan
KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal
pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya.
Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
5) Timbulnya
perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo
menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa
mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer[36].
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.
g.
KABINET
DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken
kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam
bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang
Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai
politik.Dipimpin Oleh : Ir. Juanda. Program: Programnya
disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet
Karya, programnya yaitu :
1) Membentuk
Dewan Nasional
2) Normalisasi
keadaan Republik Indonesia
3) Melancarkan
pelaksanaan Pembatalan KMB
4) Perjuangan pengembalian
Irian Jaya
5) Mempergiat/mempercepat
proses Pembangunan
Semua itu
dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat
buruk.
Hasil:
1) Mengatur kembali
batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman
dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya
Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan
yang utuh dan bulat.
2) Terbentuknya Dewan Nasional sebagai
badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada
dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
3) Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas)
untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian
wilayah RI.
4) Diadakan
Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri
tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1) Kegagalan
Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat.
Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya
pemberontakan seperti PRRI/Permesta[37].
2) Keadaan
ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit
dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3) Terjadi peristiwa Cikini, yaitu
peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan
Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada
tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin
memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI
yaitu Demokrasi Terpimpin.
B. DEMOKRASI
DIINDONESIA PADA MASA ORDE BARU
1.
Pengertian Orde Baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan
rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah
suatu orde yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan
rakyat dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD
1945. Latar belakang lahirnya pmerintah Orde Baru SUPERSEMAR ( Surat Perintah
11 Maret) ) merupakan salah satu peristiwa yang penting dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia modern. Peristiwa ini merupakan tonggak lahirnya Orde
Baru ( Dari Ir. Soekarno Ke Soeharto)[38].
2. Latar Belakang Lahirnya Masa Pemerintahan Orde Baru
a. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
b. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau
karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan
darat yang sudah berlangsung lama.
c. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi
mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan
kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
d. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk
peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan
demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya
diadili.
e. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di
masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang
selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang
terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
f. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966
di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat)
yang berisi:
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.
g. Upaya Reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966
dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab
rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam
peristiwa Gerakan 30 September 1965.
h. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun
setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan
30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah
Militer Luar Biasa(Mahmilub).
i.
Sidang
Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil
langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau
dan sulit dikendalikan[39].
3. Kehidupan Politik Pada Masa Orde Baru
a. Penataan politik dalam
negeri
1) Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada
masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang
dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas
politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Program Kabinet AMPERA
yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut:
a) Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang
sandang dan pangan.
b) Melaksanakan
pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
c) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif
untuk kepentingan nasional.
d) Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah
sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5
tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan
tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi:
a) Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
b) Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima
Tahun Tahap pertama
c) Pelaksanaan Pemilihan Umum
d) Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
e) Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan
daerah dari pengaruh PKI.
2) Pembubaran PKI dan
Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin
keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
a) Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang
diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
b) Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI
sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
c) Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15
orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini
disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
3) Penyederhanaan dan
Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan
jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga
dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya
kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program.
Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
a) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari
NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari
1973 (kelompok partai politik Islam)
b) Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari
PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik
yang bersifat nasionalis).
c) Golongan Karya (Golkar)
4) Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan
pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun
sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu
itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum,
Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta
tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu
1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat
menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR.
Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan
Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5) Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah
menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial.
Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan
adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara.
Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan
DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan
pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator[40].
6) Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto
mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan
Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya
ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan
penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman
yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama
diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.
Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang
kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa
Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan
adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem
kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
7. Mengadakan
Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan oleh wakil PBB pada
tanggal 2 Agustus 1969.
b. Penataan politik luar negeri
Di samping membina
stabilitas politik dalam negeri, Pemerintah Orde Baru juga mengadakan
perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya-upaya
pembaharuan dalam politik luar negeri:
1. Indonesia Kembali Menjadi
Anggota PBB
Indonesia kembali
menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan
keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3
Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB
dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan
nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan
Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama
menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya
kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966[41].
Kembalinya Indonesia
mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri
hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum
PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB
dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti
India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat
remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama[42].
2. Membekukan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
Sikap politik
Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik dengan RRC disebabkan pada masa G
30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan kudeta tersebut. RRC dianggap
terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
3. Normalisasi hubungan dengan
beberapa negara
a) Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik[43].
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik[43].
b) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
1) Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali
keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2) Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan
hubungan diplomatik.Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan
dihentikan.
3) Peresmian persetujuan pemulihan hubungan
Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta
tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta
Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di
masing-masing Negara[44].
Peran aktif Indonesia
juga ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara pelopor berdirinya ASEAN.
Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bersama menteri luar negeri/perdana
menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menandatangi kesepakatan
yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Deklarasi tersebut
menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.
4.
Kehidupan
Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada masa Demokrasi
Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan
ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta.
Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun
1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu
menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah[45].
Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut:
a. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
b. Kerja Sama Luar Negeri
c.
Pembangunan
nasional, dilakukan secara bertahap yaitu:
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun
(Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan
jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
a) Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974
yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.Tujuannya adalah untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan dalam tahap berikutnya dengan sasaran dalm bidang Pangan, Sandang,
Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani[46].
b) Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret
1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan
prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan
Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun.
Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita
II, inflasi turun menjadi 9,5%[47].
c) Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret
1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan
penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu[48]:
·
Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
·
Pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
·
Pemerataan pembagian pendapatan
·
Pemerataan kesempatan kerja
·
Pemerataan kesempatan berusaha
·
Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
kaum perempuan
·
Pemerataan
penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
·
Pemerataan
kesempatan memperoleh keadilan.
d) Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret
1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi
resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga
kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
e) Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret
1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki
kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per
tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang
menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
f) Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret
1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim
Orde Baru runtuh.
5. Kronologis
Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru
a. Krisis Moneter
Pada waktu krisis
melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih
surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20
B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini
merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga
tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.
Tapi begitu Thailand
melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan
bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu
Indonesia melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin
menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah
jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah
besar-besaran[49].
Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000
dampai 18,000 per US Dollar[50].
b. Tragedi “TRISAKTI”
Tragedi 12 mei 1998
yang menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti. Tragedi yang sampai
saat ini masih dikenang oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia belum jelas
penyelesaiannya hingga sekarang. Tahun demi tahun kasus ini selalu timbul
tenggelam. Setiap 12 Mei mahasiswa pun berdemo menuntut diselesaikannya kasus
penembakan mahasiswa Trisakti. Namun semua itu seperti hanya suatu kisah yang
tidak ada masalah apapun. Seperti suatu hal yang biasa saja. Pemerintah pun
tidak ada suatu pernyataan yang tegas dan jelas terhadap kasus ini.
c. Penjarahan
Pada tanggal 14 Mei
1998, Jakarta seperti membara. Semua orang tumpah di jalanan. Mereka merusak
dan menjarah toko dan gedung milik swasta maupun pemerintah. Masa pada saat itu
sudah kehilangan kendali dan brutal akibat kondisi yang terjadi di tanah air pada
saat itu.
Tak hanya itu, massa juga memburu warga keturunan Cina. Tarakhir, banyak warga keturunan Cina mengungsi ke luar negeri. Sebagian lainnya bertahan dalam ketakutan dan munculah isyu-isyu gak tidak jelas bahwa pada hari itu terjadi perkosaan masal warga keturunan tiong Hoa[51].
Tak hanya itu, massa juga memburu warga keturunan Cina. Tarakhir, banyak warga keturunan Cina mengungsi ke luar negeri. Sebagian lainnya bertahan dalam ketakutan dan munculah isyu-isyu gak tidak jelas bahwa pada hari itu terjadi perkosaan masal warga keturunan tiong Hoa[51].
d. Mahasiswa Menduduki Gedung MPR
18 Mei Pukul 15.20
WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan
suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik
Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri
secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR,
yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pukul 21.30 WIB,
empat orang menko (Menteri Koordinator) diterima Presiden Soeharto di Cendana
untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu
untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan
di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet
reformasi tidak terlalu “malu”. Namun, niat itu tampaknya sudah diketahui oleh
Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, “Urusan kabinet adalah urusan saya.”
Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan
beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Pukul 23.00 WIB
Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap
pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan
sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara
kolektif. Wiranto mengusulkan pembentukan “Dewan Reformasi”. Gelombang pertama
mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan menginap di
Gedung DPR/MPR.
e. Soeharto Meletakkan Jabatannya.
21 Mei Pukul
01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Nurcholish
Madjid (almarhum) pagi dini
hari menyatakan, “Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang
pemerintahan baru”.
Pukul 9.00 WIB,
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB. Soeharto kemudian
mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan
halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan
Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang
ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.
Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia. Jenderal Wiranto mengatakan
ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan
presiden, “ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan
presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga.”
Terjadi perdebatan
tentang proses transisi ini. Yusril Ihza
Mahendra, salah satu yang
pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
6. Kelebihan dan
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
a. Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru
1)
Perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.565
2)
Sukses
transmigrasi
3)
Sukses
KB
4)
Sukses
memerangi buta huruf
5)
Sukses
swasembada pangan
6)
Pengangguran
minimum
7)
Sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
8)
Sukses
Gerakan Wajib Belajar
9)
Sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
10)
Sukses
keamanan dalam negeri
11)
Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia
12)
Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
b. Kekurangan Sistem
Pemerintahan Orde Baru
1)
Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
2)
Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot
ke pusat
3)
Munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua
4)
Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5)
Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
6)
Pelanggaran
HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7)
Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
8)
Kebebasan
pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9)
Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
10)
Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11)
Menurunnya
kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal
ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara
pasti hancur.Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk
berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
12)
Pelaku
ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh
swasta
C. DEMOKRASI DIINDONESIA PADA MASA REFORMASI
1. Pengertian dan Agenda sistem
pemerintahan Reformasi.
Reformasi
merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan perikehidupan baru
dan secara hukum menuju kearah perbaikan. Reformasi merupakan formulasi menuju
indonesia baru dengan tatanan baru. Tatanan gerakan reformasi pada mulanya
disuarakan dari kalangan kampus yaitu Mahasiswa, dosen maupun rektor. Situasi
politik dan ekonomi indonesia yang demikian terpuruk mendorong kalangan kampus
tidak hanya bersuara melalui mimbar bibas di kampus, namun akhirnya mendorong
mahasiswa turun ke jalan.[52]
2. Latar belakang lahirnya masa
pemerintahan Reformasi
Krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997
menyebabkan ekonomi indonesia melemah. Keadaan memburuk. Adanya sistem monopoli
di bidang perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang dekat
dengan pemerintah akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan bahkan mampu
berbuat apa saja demi keberhasilan usahanya.Terjadi krisis moneter. Krisis
tersebut membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha.
Banyak perusahaan yang ditutup sehingga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan
angka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan
krisis perbankan. KKN semakin merajalela, ketidakadilan dalam bidang hukum,
pemerintahan orde baru yang otoriter dan tertutup, besarnya peranan militer
dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta memunculkan demonstrasi yang
digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan
ekonomi dan reformasi total.
3. Munculnya Gerakan Reformasi
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan
kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan
reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan peri kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok
merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun,
persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang
mempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi dan
hukum. Pemerintahan orde baru dipimpin presiden Soeharto selama 32 tahun,
ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru.
Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde baru bertekad untuk menata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan
penyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila dan ketentuan-ketentuan yang
tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila
dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan[53].
Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi
penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, yaitu:
a.
Krisis Politik Krisis politik yang
terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan
pemerintahan orde baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi
pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan
kekuasaan presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang
dilaksanakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan
demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti
dari, oleh, untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari,oleh dan untuk
penguasa. Pada masa orde baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya
tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang
berpikir kritis.
Ciri-ciri
kehidupan politik yang represif, yaitu:
1)
Setiap orang atau kelompok yang
mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang
Negara Kesatuan Republik Indinesia)
2)
Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang
melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
3)
Terjadinya Korupsi, kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk
mengontrolnya.
4)
Pelaksanaan Dwifungsi ABRI yang
memasung kebebasan setiap warga negara sipil untuk ikut berpartisipasi dalam
pemerintahan
5)
Terciptanya masa kekuasaan presiden
yang tak terbatas. Meskipun Soeharto dipilih menjadi presiden melalui sidang
umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
b.
Krisis Hukum Rekayasa-rekayasa yang
dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukum pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan
harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk
melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasal 24
UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia tenggara sejak juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi indonesia tidak mampu menghadapi
krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi indonesia diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serikat. Pada tanggal 1
Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2,575.00 menjadi 2,603.00 per
dollar Amerika serikat. Pada bulan desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp. 5,000.00 per dollar. Bahkan pada bulan
Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu
Rp. 16,000.00 per dollar. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:Hutang luar negeri indonesia yang
sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu
bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap
upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi[54].
c.
Krisis Sosial Krisis politik, hukum
dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik
yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun
konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai
kerusuhan dibeberapa daerah. Ketimpangan perekonomian indonesia memberikan
sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako
yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat
merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.[55]
d.
Krisis Kepercayaan Krisis
multidimensional yang melanda bangsa indonesia telah mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketidakmampuan pemerintah
dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum
dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada
rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Kronologi peristiwa reformasi secara
garis besar, kronologi gerakan reformasi yaitu sebagai berikut[56]:
1)
Sidang Umum MPR (maret 1998) memilih
Soeharto dan B.J Habibie sebagai presiden dan wakil presiden RI untuk masa
jabatan 1998-2003. Presiden Soeharto membentuk dan melantik kabinet Pembangunan
VII.
2)
Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa
dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan
yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan
KKN dan mundurnya Soeharto dari kursi Kepresidenan.
3)
Pada tanggal 12 mei 1998, dalam aksi
unjuk rasa mahasiswa universitas Trisakti jakarta telah terjadi bentrokan
dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (elang mulia
lesmana, Hery Hartanto, Hafdhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga
tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat
mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus
untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
4)
Pada tanggal 13-14 mei 1998, di
jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga
kegiatan masyarakat menalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko
dibakar dan isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.
5)
Pada tanggal 19 mei 1998, para mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi di jakarta dan sekitarnya menduduki DPR dan MPR
pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di
alun-alun utara keraton yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung, guna
mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwana X dan Sri Paku Alam VII.
6)
Pada tanggal 19 mei 1998, Harmoko
sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi anjuran agar presiden
Soeharto mengundurkan diri.
7)
Pada tanggal 20 mei 1998, presiden
soeharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai
pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh
Presiden Soeharto
8)
Pada tanggal 21 mei 1998, pukul
10.00 di istana negara, presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai
presiden RI dihadapan ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan
pasal 8 UUD 1945, kemudian Soeharto menyerahkan jabatannya kepada wakil
presiden B.j.Habibie sebagai presiden RI. Pada waktu itu juga B.J habibie
dilantik menjadi presiden RI oleh ketua MA. Beberapa sebab lahirnya gerakan
reformasi adalah krisis moneter,ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan
kepercayaan terhadap pemerintahan soeharto. Nilai tukar rupiah terus merosot. Para
investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi dan
pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah selama pemerintahan orde baru.
Kehidupan politik hanya kepentingan para penguasa. Hukum dan lembaga peradilan
tidak dapat menjalankan fungsi dan peranannya. Pengangguran dan kemiskinan
terus meningkat. Nilai-nilai budaya bangsa yang luhur tidak dapat dilaksanakan
secara konsisten dan konsekuen. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara telah sampai pada titik yang paling kritis. Oleh karena itu, krisis
kehidupan masyarakat indonesia sering disebut sebagai krisisi multidimensional.
Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakn oleh para mahasiswa, terutama setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4
mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup
beberapa tuntutan, seperti:
a) Adili soeharto dan kroni-kroninya
b) Laksanakan Amandemen UUD 1945
c) Penghapusan Dwifungsi ABRI
d) Pelaksanaan Otonomi daerah seluas-luasnya
e) Tegakkan Supersemar Hukum
f) Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN[57]
Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas
Trisakti pada tanggal 12 mei 1998, seluruh lapisan masyarakat indonesia berduka
dan marah, akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di ibukota
dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 mei 1998, yang menimbulkan
banyak korban baik jiwa maupun material. Semua peristiwa tersebut makin
meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi
kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa
mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan
gedung DPR/MPR. Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam
proses pelengseran Soeh harto dari tampuk kekuasaan presiden dan tuntutan
reformasi. Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung
menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto mundur[58].
Sistematika Pelaksanaan UU 1945 pada masa Orde Reformasi Pada masa orde
Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi dengan
berdasarkan kepada pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada
masa Orde Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi
berdasar atas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
pemusyawaratan/ perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu
memelihara persatuan indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Reformasi
telah banyak memberi ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya
termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan mengontrol
pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat melaksanakan
tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena dianggap menyimpang
dari garis Reformasi.
Ciri-ciri
umum demokrasi Pancasila pada masa orde Reformasi:
a) Mengutamakan musyawarah mufakat
b) Mengutamakan Kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara
c) Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
d) Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
e) Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan
keputusan hasil musyawarah
f) Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
yang luhur
g) Keputusan dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
h) Penegakan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan
pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya
masyarakat.
i) Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga
Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif
j) Penghormatan kepada beragam asas, ciri dan aspirasi
dan program parpol yang memiliki partai
k) Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi
dari pelaksanaan hak asasi manusia
Sistem pemerintahan Pada masa Orde Reformasi Sistem
pemerintahan masa orde baru reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan
sebagai bersikut:
a)
Kebijakan pemerintah yang memberi
ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan
pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUD 1945 dapat terwujud dengan
dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan
multipartai
b)
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa serta tanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan
ketetapan MPR No IX/MPR/1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang
KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi
c)
Lembaga MPR sudah berani mengambil
langkah-langkah politis melalui sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan
pertanggung jawaban tugas lembaga negara, UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR
dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang
istimewanya.
d)
Dengan Amandemen UUD 1945 masa
jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih
sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah
Susilo Bambang Yodoyono dan yoesuf kalla, MPR tidak lagi lembaga tertinggi
negara melainkan lembaga yang kedudukannya sama dengan presiden, MA, BPK,
kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD. Di dalam
amandemen UUD 1945 ada penegasan tentang sistem pemerintahan presidensial tetap
dipertahankan dan bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan B.J. Habibie untuk
mewujudkan Tujuan dari Reformasi
a) Kebijakan
dalam bidang politik Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima
paket undang-undang masa orde baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih
demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut yaitu: · UU No. 2 tahun
1999 tentang partai politik · UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum · UU
No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR
b) Kebijakan dalam bidang ekonomi Untuk memperbaiki
perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah
mengeluarkan UU no 5 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
c) Kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal
ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan
ideologi. Masyarakat dapat menyampaikan kritik secara terbuka kepada
pemerintah. Disamping kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga
diberikan kepada pers. Reformasi dalam Pers dilakukan dengan cara
menyederhanakan Permohonan Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP)
d) Pelaksanaan Pemilu Pada masa pemerintahan B.J
Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan
presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Dalam
pemerintahan B.J Habibie juga berhasil menyelesaikan masalah Timor Timur. B.J Habibie
mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
Masa Reformasi berusaha membangun kembali kehidupan
yang demokratis antara lain:
a) Keluarnya ketetapan MPR RI No X/MPR/1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi
b) Ketetapan No VII/MPR/1998 tentang pencabutan Tap
MPR tentang Referendum
c) Tap MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
negara yang bebas dari KKN
d) Tap MPR RI No XII/MPR/1998 tentang pembatasan masa
jabatan presiden dan wakil presiden RI
e) Amandemen
UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari Sejarah panjang mengenai dinamika politik pada
masa orde lama di Indonesia yang berhubungan dengan praktek politik berdasar
demokrasi muncul semenjak dikelurkannya Maklumat Wakil Presiden No.X, 3
November 1945, yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik.
Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi parlementer dicirikan
oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai
pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang
nyata dimiliki oleh Perdana Menteri, kabinet dan parlemen. Kegiatan partisipasi
politik di masa itu berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran
partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai
primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, demikian, masa itu
ditandai oleh terlokalisasinya proses politik dan formulasi kebijakan pada
segelintir elit politik semata, hal tersebut ditunjukan pada rentang 1945-1959
ditandai dengan adanya tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit
partai dan masyarakat berada dalam keadaan terasingkan dari proses politik.
Namun pada akhirnya masa tersebut mengalami kehancuran
setelah adanya perpecahan antar-elit dan antar-partai politik di satu sisi dan
pada sisi yang lain adalah karena penentangan dari Soekarno dan Militer
terhadap distribusi kekuasaan yang ada, terlebih Bung Karno sangat tidak
menyukai jika dirinya hanya dijadikan Presiden simbolik. Perpecahan yang
terjadi diantara partai politik yang diperparah oleh konflik tersembunyi antara
kekuatan partai dengan Bung Karno dan Militer, serta adanya ketidakmampuan
sistem cabinet dalam merealisasikan program-programnya dan mengatasi potensi
perpecahan regional, telah membuat periode revolusi dan demokrasi parlementer
oleh krisis integrasi dan stabilitas yang parah. Pada keadaan inilah Bung Karno
memanfaatkan situasi dan pihak militer untuk menggeser tatanan pemerintahan ke
arah demokrasi terpimpin pun ada di depan mata. Dengan adanya Konsepsi Presiden
tahun 1957, direalisasikannya nasionalisasi ekonomi, dan berlakunya UU darurat,
maka pintu ke arah Demokrasi terpimpin pun dapat diwujudkan seperti apa yang
telah dia idam-idamkan. Mengenai demokrasi terpimpin yang sudah di depan
mata Bung Karno. Jelas permasalahan dari demokrasi terpimpin sendiri kita
ketahui adalah berubahnya peta distribusi kekuasaan. Kekuasaan yang semula
terbagi dalam sistem parlementer berubah menjadi kekuasaan yang terpusat
(sentralistik) pada tangan Bung Karno, dan secara signifikan diimbangi oleh
peran dan kekuasaan PKI dan Angkatan Darat. Dan akhirnya menjadi blunder bagi
Bung Karno sendiri dengan adanya peristiwa pemberontakan PKI tanggal 30
september 1965 dalam kepemerintahannya. Setelah itu terjadi penyerahan
kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di
penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan akan perbaikan keadaan
sosial, ekonomi dan politik. Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan
terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokrasi. Salah satu harapan
dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara
negara dan masyarakat. Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan
yang memiliki dasar argumen empirik yang memadai diantaranya adalah berbeda
dengan demokrasi terpimpin Bung Karno yang lahir sebagai produk rekayasa elit,
orde baru lahir karena adanya gerakan massa yang berasal dari arus keinginan
arus bawah, kemudian rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya
kesejajaran. Dalam artian, mengenai kebijakan politik yang ada tidak lagi
diserahkan pada peran politis dan ideology, melainkan pada para teknokrat yang
ahli. Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai
oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan
masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di
tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat
kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun
harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah
beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana
kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru
akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi
yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
B.
SARAN
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu
dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan
sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang
dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan.
Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan
orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga
negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya
kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional
maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu
menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa
orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara terang-terangan mendukung
pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih
terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus
dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata
masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa
saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad
baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa
harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari
sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset
Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan
bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik.2010.Sejarah Lokal di Indonesi.Yogyakarta:
Unversitas Gajah Mada Pers.
Chotib,dkk.2007.Kewarganegaraan 2.Bandung:PT. Ghaliya
Indonesia
http://pkb/materi/Demokrasi_Di_Indonesia_dan_Sejarahnya
_Koran Demokrasi Indonesia.html
Http://pkb/materi/Lingkaran_Kehidupan_Makalah_Pelaksanaan_Demokrasi_di_Indonesia.html
Http://pkb/materi/Makalah_Perkembangan_Demokrasi_di_Indonesia_Welcome_to_KRISIYANTO_Blog.html
Http:\pkb\materi\Makalah Perkembangan Demokrasi di
Indonesia « Welcome to KRISIYANTO Blog.mht
http://www.academia.edu/5160513/MAKALAH_DEMOKRASI_DI_INDONESIA
Ismawan,Indra.2004.Kumpulan Pernyataan Bung Karno Tentang Gerakan 30 September.Yogyakarta:Media
Pressindo.
Kahin,Audrey.2005.Dari Pembrontakan ke Integrasi.Bogor: Grafika Mardiyuwana
Kardiman,Yuyus.2013.Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mustopo,
M Habib,dkk.2011.Sejarah .Jakarta:
Yudistira.
Sundawa,Dadang dan Nasiwan.2014.Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud.
Syukur,Abdul,dkk.2011.Sejarah Nasional Indonesia.Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoave.
[3]Abdul Syukur,dkk.Sejarah Nasional Indonesia. (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoave,2011) h.62
[7] Ibid., h. 89
[8] Ibid.,hlm 389-390
[9]Ibid.,
[10] M.c.Rickles,sejarah
indonesia modern,yogyakarta:gadjah mada university press, 2011,hlm 389-390
[11] M.c.Rickles,sejarah
indonesia modern,yogyakarta:gadjah mada university press, 2011,hlm 396-397
[14] Ibid., h.48
[15] Yuyus
kardiman. Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013) h. 78
[17] Ibid., h. 59
[18] Ibid, h.61
[21] Ibid., h. 85
[25] Ibid., h. 68
[28] Ibid., h. 41
[30] Ibid, h. 58
[31] Ibid., h. 60
[32] Ibid., h. 62
[33] Ibid., h. 65
[34] Ibid., h. 67
[35] Ibid., h. 69
[36] Ibid.,h. 72
[38] Ibid., h. 54
[41] Ibid., h. 32
[42] Chotib,dkk.Kewarganegaraan 2.(Bandung:PT. Ghaliya
Indonesia, 2007) h. 76
[43] Ibid., h. 82
[44] Ibid., h. 84
[46] Ibid., h. 74
[50] Ibid.,h. 38
[51] Ibid., h. 59
[52] . Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2010). h: 237
[53] Ibid., h. 249
[55] . Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2010. Hal:238
[57] Dadang
Sundawa dan Nasiwan.Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang,
Kemendikbud, 2014) h. 92
[58] Ibid., h. 95

0 komentar:
Posting Komentar